Artikel Hukum

SURAT DAKWAAN

Surat Dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No.47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957, menyatakan bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan oleh pengadilan ialah surat dakwaaan. Surat Dakwaan dapat disusun hanya berdasarkan keterangan saksi dan bukti-bukti yang ada. Karena itu tidak harus berdasarkan keterangan tersangka. Dalam hukum pembuktian ada asas non-self incrimination, artinya orang tidak boleh dijadikan seorang kriminal hanya karena keterangannya sendiri. Jadi, menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan harus berdasarkan bukti-bukti yang bukan dari diri tersangka sendiri.
Dakwaan disusun dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana yang bersangkutan. Surat dakwaan yang disusun harus memenuhi persyaratan baik formil maupun materiil, sesuai dengan bunyi Pasal 143 Ayat (2) huruf a KUHAP disebutkan bahwa syarat formil surat dakwaan meliputi :
  • surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan penuntut umum pembuat surat dakwaan ;
  • Surat dakwaan harus memenuhi secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi ; nama lengkap, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan ;
Adapun syarat-syarat materiil surat dakwaan adalah  tentang :
  • Tindak pidana yang dilakukan ;
  • Siapa yang melakukan tindak pidana ;
  • Dimana tindak pidana dilakukan ;
  • Bilamana/kapan tindak pidana dilakukan ;
  • Bagaimana tindak pidana dilakukan ;
  • Akibat apa yang ditimbulkan tindak pidana tersebut (delik materiil) ;
  • Apa yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana tersebut (delik-delik tertentu);
  • Ketentuan-ketentuan pidana yang diterapkan;
Dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan atau Pasal-Pasal yang mengatur tentang bentuk dan susunan Surat Dakwaan, sehingga dalam praktik penuntutan masing-masing penuntut umum dalam menyusun Surat Dakwaan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh strategi dan rasa seni sesuai dengan pengalaman praktik masing-masing. Dalam praktek, proses penuntutan dikenal beberapa bentuk Surat Dakwaan, antara lain sebagai berikut :
1. Dakwaan Tunggal. Dalam surat dakwaan ini hanya satu tindak pidana saja yang didakwakan, tidak terdapat tindak pidana lain baik sebagai alternative maupun sebagai pengganti. Misalnya dalam surat dakwaan hanya didakwakan tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP). Dakwaannya hanya satu/tunggal dan tindak pidana yang digunakan apabila berdasarkan hasil penelitian terhadap materi perkara hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan. Dalam Dakwaan ini, terdakwa hanya dikenai satu perbuatan saja, tanpa diikuti dengan Dakwaan-Dakwaan lain. Dalam menyusun Surat Dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan alternatif, atau kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun kemungkinan untuk mengkumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana dalam Surat Dakwaan. Penyusunan Surat Dakwaan ini dapat dikatakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.

2. Dakwaan Alternatif
. Dalam bentuk ini surat dakwaan disusun atas beberapa lapisan yang satu mengecualikan dakwaan pada lapisan yang lain. Dakwaan alternatif dipergunakan karena belum di dapat kepastian tentang tindak pidana mana yang akan dapat dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada lapisan dakwaan yang dipandang terbukti. Dalam bentuk Dakwaan demikian, maka Dakwaan tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain bersifat saling mengecualikan. Dalam Dakwaan ini, terdakwa secara faktual didakwakan lebih dari satu tindak pidana, tetapi pada hakikatnya ia hanya didakwa satu tindak pidana saja. Biasanya dalam penulisannya menggunakan kata “atau”. Dasar pertimbangan penggunaan Dakwaan alternatif adalah karena penuntut umum belum yakin benar tentang kualifikasi atau Pasal yang tepat untuk diterapkan pada tindak pidana tersebut, maka untuk memperkecil peluang lolosnya terdakwa dari Dakwaan digunakanlah bentuk Dakwaan alternatif. Biasanya Dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak/ciri yang sama atau hampir bersamaan, misalnya Pencurian atau Penadahan, Penipuan atau Penggelapan, pembunuhan atau Penganiayaan yang mengakibatkan mati dan sebagainya. Jaksa menggunakan kata sambung “atau”.

3. Dakwaan Subsidiair.
Bentuk Dakwaan ini dipergunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penunutut umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai Pasal yang dilanggarnya. Dalam Dakwaan ini, terdakwa didakwakan satu tindak pidana saja. Oleh karena itu, penuntut umum memilih untuk menyusun Dakwaan yang berbentuk subsider, dimana tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok terberat ditempatkan pada lapisan atas dan tindak pidana yang diancam dengan pidana yang lebih ringan ditempatkan di bawahnya. Konsekuensi pembuktiannya, jika satu Dakwaan telah terbukti, maka Dakwaan selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi. Biasanya menggunakan istilah primer, subsidiair dan seterusnya. Meskipun dalam Dakwaan tersebut terdapat beberapa tindak pidana, tetapi yang dibuktikan hanya salah satu saja dari tindak pidana yang didakwakan itu. Contohnya dari Dakwaan ini adalah :

  • Primair
  • Pembunuhan Berencana (Pasal 340 KUHP),
  • Subsidair
  • Pembunuhan (338 KUHP),
  • Lebih Subsidair
  • Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (Pasal 355 Ayat (2) KUHP),
  • Lebih Subsidair lagi
  • Penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang ( Pasal 354 Ayat (2) KUHP),
  • Lebih-lebih Subsidair lagi
  • Penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya orang (Pasal 351 Ayat (3) KUHP),

4. Dakwaan Kumulatif. Bentuk ini digunakan bila kepada terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dan tindak pidana tersebut masing-masing berdiri sendiri. Semua tindak pidana yang didakwakan harus dibuktikan satu demi satu. Persamaannya dengan dakwaan subsidair karena sama-sama terdiri dari beberapa lapisan dakwaan dan pembuktiannya dilakukan secara berurutan, misalnya dakwaan disusun :
Kesatu

Pembunuhan (Pasal 338 KUHP),

Kedua

Pencurian dengan pemberatan, (Pasal 363 KUHP) ,

Ketiga

Perkosaan (pasal 285 KUHP).
Bentuk Dakwaan ini dipergunakan dalam hal menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Dalam Dakwaan ini, terdakwa didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus. Biasanya Dakwaan akan disusun menjadi Dakwaan satu, Dakwaan dua dan seterusnya. Jadi, Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya. Jaksa menerapkan dua Pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung “dan”.
5. Dakwaan Campuran / Kombinasi. Bentuk Dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan Dakwaan alternatif ataupun Dakwaan subsidiair. Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya Dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika. Bentuk ini merupakan perkembangan baru dalam praktek sesuai perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya dalam modus operandi yang dipergunakan. Kombinasi/gabungan dakwaan tersebut terdiri atas dakwaan kumulatif dan dakwaan subsidair. Contoh dari Dakwaan ini adalah :

Kesatu

Primer

Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP)

Subsidair

Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)

Lebih Subsidair

Penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang (Pasal 355 Ayat (2) KUHP)

Kedua

Perampokan / pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 Ayat (3) dan Ayat (4) KUHP)

Ketiga

Perkosaan (Pasal 285 KUHP)
Jaksa dalam hal ini adalah sebagai pembuat Surat Dakwaan harus mampu berkreasi dalam membuat sebuah Dakwaan yang di dukung dengan kemampuan bahasa yang mumpuni, baik itu segi bahasa Indonesianya, EYD dan bahasa hukumnya. Surat Dakwaan yang akan dibuat, wajib dikoridor fakta hukum yang terungkap dari berkas perkara dan dari proses Tahap II (penyerahan tersangka dan barang bukti dari pihak Kepolisian), sehingga Dakwaan kita menjadi lebih kuat dan tidak ada cela. Viva Adhiyaksa...
Aridona Bustari, SH 


SELAYANG PANDANG JAKSA PENGACARA NEGARA

Kejaksaan merupakan institusi setingkat kementrian yang menjalankan tugasnya yang tercantum di dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yang mana salah satu tugasnya di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara bertugas yakni mewakili pemerintah dalam beracara perdata yang biasanya dikenal dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara. Tidak semua jaksa otomatis menjadi JPN karena penyebutan itu hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha negara (Datun).

Pada kalimat "Jaksa Pengacara Negara", terdapat 3 (tiga) suku kata yakni, Jaksa, Pengacara dan Negara, yang mana pengertian masing-masing kata dapat dijumpai pada :
Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia karangan Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja.
  1. Jaksa adalah penuntut dalam suatu perkara yang merupakan wakil pemerintah.
  2. Pengacara (Advokat) adalah pembela dalam perkara hukum; ahli hukum yang berwenang sebagai penasehat atau terdakwa.
  3. Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang diatur oleh kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyat.
Sedangkan menurut kamus hukum Indonesia karangan BN. Marbun, SH.
  1. Jaksa atau Penuntut Umum adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU.
  2. Pengacara atau Advokat adalah pembela perkara, penasehat hukum, pokrol, seseorang yang bertindak didalam suatu perkara untuk kepentingan yang berperkara, dalam perkara perdata untuk tergugat/penggugat dan dalam perkara pidana untuk terdakwa. Bantuan seorang pengacara itu tidak diharuskan, kecuali dalam perkara pidana dimana terdakwa ada kemungkinan dijatuhi hukuman mati.
  3. Negara adalah suatu persekutuan bangsa dalam satu wilayah yang jelas batas-batasnya, dan mempunyai pemerintahan sendiri; unsur negara adalah terdapatnya wilayah, penduduk, pemerintahan dan memiliki kedaulatan kedalam dan keluar. Pemerintahan adalah sebagai penyelenggara negara.
Dari penjelasan diatas, dari segi bahasa dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "Jaksa Pengacara Negara" adalah Jaksa yang bertindak sebagai Pengacara, pembela perkara mewakili Negara dalam mengajukan sesuatu tuntutan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut :
1. Jaksa.
  • Merujuk pada UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 1 Ayat (1), Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU.
  • Sedangkan wewenang lain dari Kejaksaan sebagaimana Pasal 1 Ayat (1) diatas dibidang perdata jika merujuk pada UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pasal 30 Ayat (2) adalah Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
2. Pangacara (Advokat).
  • Merujuk pada UU RI Nomor 18 Tahun 2003Advokat  Pasal 1 Ayat (1), Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU (ini).

Jaksa sebagai penerima surat kuasa khusus mewakili Negara berperkara perdata di pengadilan, maka ia tidak dibenarkan diistilahkan atau disebut sebagai pengacara atau advokat, apalagi jika merujuk pada UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 1 Ayat (1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU, dimana UU ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa Jaksa adalah juga sebagai pengacara Negara atau Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Sebutan jaksa pengacara negara (JPN) secara eksplisit tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dan UU sebelumnya yaitu UU No. 5 Tahun 1991, serta Keppres No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. Namun, makna “kuasa khusus” dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan “pengacara.” Berdasarkan asumsi tersebut, istilah pengacara negara, yang adalah terjemahan dari landsadvocaten versi Staatblad 1922 Nomor 522 (Pasal 3), telah dikenal secara luas oleh masyarakat dan pemerintah.


Berbagai kasus gugatan perdata telah ditangani oleh JPN baik mewakili berbagai departemen, gubernur, bupati, lembaga-lembaga negara, maupun BUMN. Bahkan Pesiden RI pernah menjadi “klien” JPN beberapa kali dengan memberikan SKK (Surat Kuasa Khusus) kepada Kejaksaan dalam fungsi sebagai JPN untuk mewakilinya di pengadilan, yang umumnya dimenangkan oleh JPN. Penugasan JPN bukan hanya untuk mengamankan aset negara, tetapi juga untuk menjaga wibawa pemerintah dan aparat pemerintah. Jika aparat melakukan tindak pidana sebaiknya ditangani oleh jaksa sebagai penuntut umum.


Dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres), keterlibatan JPN mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai KPU seakan tidak netral menggunakan JPN yang berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam sengketa pilpres itu. Putusan MK memang membolehkan JPN menjadi kuasa hukum KPU dalam sengketa pilpres ini. “Namun, di masa datang hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu


Memang ada kesan masyarakat selama ini seolah-olah Kejaksaan hanya sebagai penuntut umum, meskipun pada pemerintahan Hindia Belanda juga disebut dalam pasal 55 RO (Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie) atau Reglemen Organisasi Peradilan di Indonesia, bahwa tugas pokoknya menegakkan ketentuan hukum dan keputusan penguasa umum, penuntutan kejahatan dan pelanggaran, dan melaksanakan putusan hakim. Namun, dalam RO yang sama pada Pasal 181 disebutkan, kepada Jaksa Agung diberikan wewenang memelihara ketertiban dan keamanan umum. Penugasan terakhir ini, yang juga tercantum dalam UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 30 Ayat (3) diberikan kepada bidang Intelijen Kejaksaan Agung. Sedang menyangkut bidang perdata dan tata usaha negara kepada Kejaksaan diberikan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Ini jelas adalah fungsi sebagai JPN.


Lebih jelas penjabaran tugas jaksa sebagai JPN dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI dalam Pasal 24 dan Pasal 25 huruf e disebutkan, JAM Datun mempunyai tugas dan wewenang memberikan bantuan, pertimbangan, dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah, melakukan tindakan hukum di dalam maupun di luar pengadilan, mewakili kepentingan keperdataan negara, pemerintah dan masyarakat, baik berdasarkan jabatan atau kuasa khusus di dalam atau di luar negeri.


Tugas keperdataan dari Kejaksaan terdapat secara eksplisit dalam KUH Perdata (BW) dan dicantumkan pula dalam UU tersendiri. Yang secara eksplisit dicantumkan dalam BW tidak diperlukan adanya suatu SKK (Surat Kuasa Khusus), seperti, meminta kepada pengadilan agar seorang bapak atau ibu dibebaskan dari kekuasaan orangtua (BW Pasal 319), menuntut ke pengadilan agar memecat seorang wali dari anak yang belum dewasa (BW Pasal 381), meminta kepada pengadilan untuk mengangkat pengurus pengganti jika pengurus waris meninggal dunia (BW Pasal 979), menerima secara tertulis laporan dari Balai Harta Peninggalan tentang boedel yang tidak terurus (BW Pasal 1127), dan lain-lain pasal dari Buku I dan Buku II BW. Sedang ketentuan yang berada di luar BW, misalnya, membatalkan suatu perkawinan yang dilakukan oleh Catatan Sipil yang tidak berwenang (UU RI Nomor 1 Tahun 1974) dan mengajukan tuntutan kepada hakim untuk menyatakan suatu badan hukum yang menyimpang dari ketentuan anggaran dasar yang sah (Stb. 1870 No. 64), dan lain-lain.


Namun baru-baru ini, Badan Legislasi DPR tengah membahas revisi UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI . Nantinya, UU Kejaksaan yang baru akan menawarkan sejumlah hal yang bakal mengubah wajah institusi Kejaksaan cukup signifikan. Ketua Panja RUU Kejaksaan Dimyati Natakusumah mengatakan melalui revisi ini, formasi jaksa agung muda di Kejaksaan Agung akan disederhanakan. Ada wacana mengganti Jambin (Jaksa Agung Muda Pembinaan) dengan Kesekjenan, dan menghilangkan Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara sama sekali. (http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dad52d2429e9/jaksa-pengacara-negara-akan-dihilangkan)

Dari selayang pandang tentang JPN dan Datun diatas, kita sebagai insan Kejaksaan haruslah mendukung semua kebijakan dari pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan penegakan hukum di negara kita ini, dan kebijakan ini haruslah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, instansi dan yang paling penting bebas dari aroma politik. Apabila  suatu kebijakan ditunggangi oleh kepentingan politik, maka tidak akan berhasil kebijakan tersebut.  Mari kita dukung pemerintah guna menjadikan Kejaksaan suatu instansi yang independen tanpa interpensi dari pihak manapun. Mari berdayakan instansi-instansi yang ada di bidang penegakan hukum meningkatkan SDM ke arah yang profesional, buka malah menambah instansi yang sama tugasnya dengan instansi sebelumnya. Viva Adhiyaksa...



Aridona Bustari, SH